BAB I
PENDAHULUAN
Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen 
(subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung (inter 
dependence) satu  sama lain dan dalam proses kerja sama untuk mencapai 
tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem yang saling 
tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values 
subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial 
(managerialsubsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan 
subsistem struktur (structural subsystem). Dalam proses interaksi antara
 suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu 
terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap 
saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar 
kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar belakangi 
munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain sifat-sifat 
pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, 
perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang 
akhirnya membawa organisasi kedalam suasana konflik.
Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi. Namun, sabagaimana dikatakan oleh Gibson, et al. (1997:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain.
Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi. Namun, sabagaimana dikatakan oleh Gibson, et al. (1997:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Manajemen Konflik
Manajemen  konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara 
pelaku maupun  pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik 
termasuk pada suatu  pendekatan yang berorientasi pada proses yang 
mengarahkan pada bentuk  komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku 
maupun pihak luar dan  bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests)
 dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar  yang  berkonflik) sebagai 
pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi  yang akurat tentang 
situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif  di antara pelaku 
dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak  ketiga.
Menurut  Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan 
langkah-langkah yang  diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka
 mengarahkan  perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau 
tidak mungkin  menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan 
mungkin atau  tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, 
kreatif, bermufakat,  atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan 
bantuan diri sendiri,  kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau 
tanpa bantuan pihak  ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak 
ketiga. Suatu pendekatan  yang berorientasi pada proses manajemen 
konflik menunjuk pada pola  komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku 
dan bagaimana mereka  mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap 
konflik.
Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan.
- Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.
 
- Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.
 
- Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
 
- Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
 
- Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
 
Tahapan-tahapan  diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan 
dalam mengelola  konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan 
tahap sebelumnya  misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan 
dan penyelesaian  konflik.
Sementara  Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik 
merupakan proses,  sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses.
 Minnery  (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik 
perencanaan  kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, 
artinya bahwa  pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota 
secara terus  menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang
 representatif  dan ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik 
yang telah  dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota 
meliputi  beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik
  (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan  
struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan  
dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk  
mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan  
atau pihak ketiga dalam mengelola konflik. Keseluruhan proses tersebut  
berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan melibatkan perencana  
sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak 
 ketiga.
2.2  Teori-teori Konflik
 Teori-teori utama mengenai sebab-sebab konflik adalah :
a. Teori hubungan masyarakat
Menganggap  bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus 
terjadi,  ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang 
berbeda dalam  suatu masyarakat.
Sasaran :  meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara 
kelompok yang  mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar 
masyarakat  lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
b. Teori kebutuhan manusia
Menganggap  bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan 
dasar manusia  (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau 
dihalangi. Hal yang  sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan, 
identitas, pengakuan,  partisipasi, dan otonomi.
Sasaran :  mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka 
yang tidak  terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi
 kebutuhan  itu.
c. Teori negosiasi prinsip
Menganggap  bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak 
selaras dan  perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang 
mengalami  konflik.
Sasaran :  membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan 
pribadi dengan  berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk 
melakukan  negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi 
tertentu yang  sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang
 menguntungkan  kedua belah pihak atau semua pihak.
d.   Teori identitas
Berasumsi  bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, 
yang sering  berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa 
lalu yang tidak  diselesaikan.
Sasaran :  melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak 
yang  mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan 
ketakutan  di antara pihak tersebut dan membangun empati dan 
rekonsiliasi di  antara mereka.
e. Teori kesalahpahaman antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
Sasaran :  menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai 
budaya pihak  lain, mengurangi streotip negatif yang mereka miliki 
tentang pihak  lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
f. Teori transformasi konflik
Berasumsi  bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah 
ketidaksetaraan dan  ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, 
budaya dan ekonomi.
Sasaran :  mengubah struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan 
ketidaksetaraan  dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi, 
meningkatkan jalinan  hubungan dan sikap jangka panjang di antar pihak 
yang berkonflik,  mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan 
pemberdayaan,  keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, 
pengakuan.
2.3 Pengertian Konflik
Robbins (1996) dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa 
konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya 
ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh 
atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh 
negative. Tentu saja ada konflik yang hanya dibayangkan ada sebagai sebuah 
persepsi ternyata tidak riil. Sebaliknya dapat terjadi bahwa ada 
situasi-situasi yang sebenarnya dapat dianggap sebagai “bernuansa 
konflik” ternyata tidak dianggap sebagai konflik karena nggota-anggota 
kelompok tidak menganggapnya sebagai konflik. Selanjutnya, setiap kita 
membahas konflik dalam organisasi kita, konflik selalu diasosiasikan 
dengan antara lain, “oposisi” (lawan), “kelangkaan”, dan “blokade”.
Di asumsikan pula bahwa ada dua fihak atau lebih yang tujuan atau kepentingannya tidak saling menunjang. Kita semua mengetahui pula bahwa sumberdaya dana, daya reputasi, kekuasaan, dan lain-lain, dalam kehidupan dan dalam organisasi tersedianya terbatas. Setiap orang, setiap kelompok atau setiap unit dalam organisasi akan berusaha memperoleh semberdaya tersebut secukupnya dan kelangkaan tersebut akan mendorong perilaku yang bersifat menghalangi oleh setiap pihak yang punya kepentingan yang sama. Pihak-pihak tersebut kemudian bertindak sebagai oposisi terhadap satu sama lain. Bila ini terjadi, maka status dari situasi dapat disebut berada dalam kondisi “konflik”. Bila kita mempersempit lingkungan organisasi maka dua orang pakar penulis dari Amerika Serikat yaitu, Cathy A Constantino, dan Chistina Sickles Merchant mengatakan dengan kata-kata yang lebih sederhana, bahwa konflik pada dasarnya adalah: “sebuah proses mengekspresikan ketidak puasan, ketidak setujuan, atau harapan-harapan yang tidak terealisasi”. Kedua penulis tersebut sepakat dengan Robbins bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses.
Bentuk Manifestasi Konflik
Konflik yang terjadi dalam masyarakat ata dalam sebuah organisasi dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk atau cara :
a. Perselisihan (Dispute) : bagi kebanyakan orang awam, kata konflik 
biasanya diasosiasikan dengan “dispute” yaitu “perselisihan” tetapi, 
dalam konteks ilmu perilaku organisasi, “perselisihan” sebenarnya sudah 
merupakan salah satu dari banyak bentuk produk dari konflik.Dispute atau
 perselisihan adalah salah satu produk konflik yang paling mudah 
terlihat dan dapat berbentuk protes (grievances), tindakan indispliner, 
keluhan (complaints), unjuk rasa ramai-ramai , tindakan pemaksaan 
(pemblokiran, penyanderaan, dsb.), tuntutan ataupun masih bersifat 
ancaman atau pemogokan baik antara fihak internal organisasi ataupun 
dengan fihak luar adalah tanda-tanda konflik yang tidak terselesaikan.
b. Kompetisi (persaingan) yang tidak sehat. Persaingan sebenarnya 
tidak sama dengan konflik. Persaingan seperti misalnya dalam 
pertandingan atletik mengikuti aturan main yang jelas dan ketat. Semua 
pihak yang bersaing berusaha memperoleh apa yang diinginkan tanpa di 
jegal oleh pihak lain. Adanya persaingan yang sangat keras dengan wasit 
yang tegas dan adil, yang dapat menjurus kepada perilaku dan tindakan 
yang bersifat menjegal yang lain.
c. Sabotase adalah salah satu bentuk produk konflik yang tidak dapat 
diduga sebelumnya. Sabotase seringkali digunakan dalam permainan politik
 dalam internal organisasi atau dengan pihak eksternal yang dapat 
menjebak pihak lain. Misalnya saja satu pihak mengatakan tidak apa-ap, 
tidak mengeluh, tetapi tiba-tiba mengajukan tuntutan ganti rugi miliaran
 rupiah melalui pengadilan.
d. Insfisiensi/Produktivitas Yang Rendah. Apa yang terjadi adalah 
salah satu fihak (biasanya fihak pekerja) dengan sengaja melakukan 
tindakan-tindakan yang berakibat menurunkan produktivitas dengan cara 
memperlambat kerja (slow-down), mengurangi output, melambatkan 
pengiriman, dll. Ini adalah salah satu dari bentuk konflik yang 
tersembunyi (hidden conflic) dimana salah satu fihak menunjukan sikapnya
 secara tidak terbuka.
e. Penurunan Moril (Low Morale). Penurunan moril dicerminkan dalam 
menurunnya gairah kerja, meningkatnya tingkat kemangkiran, sakit, 
penurunan moril adalah juga merupakan salah satu dari produk konflik 
tersembunyi dalam situasi ini salah satu fihak, biasanya pekerja, merasa
 takut untuk secara terang-terangan untuk memprotes fihak lain sehingga 
elakukan tindakan-tindakan tersembunyi pula.
f. Menahan/Menyembunyikan Informasi. Dalam banyak organisasi 
informasi adalah salah satu sumberdaya yang sangat penting dan identik 
dengan kekuasaan (power). Dengan demikian maka penahanan/penyembunyian 
informasi adalah identik dengan kemampuan mengendalikan kekuasaan 
tersebut. tindakan-tindakan seperti ini menunjukkan adanya konflik 
tersembunyi dan ketidak percayaan (distrust).
Manajemen Konflik Yang Efektif
Manajemen konflik dimaksudkan sebagai sebuah proses terpadu (intergrated) menyeluruh untuk menetapkan tujuan organisasi dalam penanganan konflik, menetapkan cara-cara mencegahnya program-program dan tindakan sebagai tersebut maka dapat ditekankan empat hal :
Manajemen konflik dimaksudkan sebagai sebuah proses terpadu (intergrated) menyeluruh untuk menetapkan tujuan organisasi dalam penanganan konflik, menetapkan cara-cara mencegahnya program-program dan tindakan sebagai tersebut maka dapat ditekankan empat hal :
a. Manajemen konflik sangat terkait dengan visi, strategi dan 
sistem nilai/kultur organisasi manajemen konflik yang diterapkan akan 
terkait erat dengan ketiga hal tersebut.
b. Manajemen konflik bersifat proaktif dan menekankan pada 
usaha pencegahan. Bila fokus perhatian hanya ditujukan pada pencarian 
solusi-solusi untuk setiap konflik yang muncul, maka usaha itu adalah 
usaha penanganan konflik, bukan manajemen konflik.
c. Sistem manajemen konflik harus bersifat menyeluruh 
(corporate wide) dan mengingat semua jajaran dalam organisasi. Adalah 
sia-sia bila sistem manajemen konflik yang diterapkan hanya untuk bidang
 Sumberdaya Manusia saja misalnya.
d. Semua rencana tindakan dan program-program dalam sistem 
manajemen konflik juga akan bersifat pencegahan dan bila perlu 
penanganan. Dengan demikian maka semua program akan mencakup edukasi, 
pelatihan dan program sosialisasi lainnya.
2.4 Pandangan Mengenai Konflik
Terdapat tiga pandangan mengenai konflik. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan yang berbeda mengenai apakah konflik merugikan, hal yang wajar atau justru harus diciptakan untuk memberikan stimulus bagi pihak-pihak yang terlibat untuk saling berkompetisi dan menemukan solusi yang terbaik. Pandangan itu adalah sebagai berikut :
a. Pandangan Tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality.
b. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View). Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.
c. Pandangan Interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif.
2.5 Penyebab Konflik
Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Agus M. Hardjana mengemukakan sepuluh penyebab munculnya konflik, yaitu :
a. Salah pengertian atau salah paham karena kegagalan komunikas
b. Perbedaan tujuan kerja karena perbedaan nilai hidup yang dipegang
c. Rebutan dan persaingan dalam hal yang terbatas seperti fasilitas kerja dan jabatan
d. Masalah wewenang dan tanggung jawab
e. Penafsiran yang berbeda atas satu hal, perkara dan peristiwa yang sama
f. Kurangnya kerja sama
g. Tidak mentaati tata tertib dan peraturan kerja yang ada
h. Ada usaha untuk menguasai dan merugikan
i. Pelecehan pribadi dan kedudukan
j. Perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja sehingga orang menjadi merasa tidak jelas tentang apa yang diharapkan darinya.
Stoner sendiri menyatakan bahwa penyebab yang menimbulkan terjadinya konflik adalah :
a. Pembagian sumber daya (shared resources)
b. Perbedaan dalam tujuan (differences in goals)
c. Ketergantungan aktivitas kerja (interdependence of work activities)
d. Perbedaan dalam pandangan (differences in values or perceptions)
e. Gaya individu dan ambiguitas organisasi (individual style and organizational ambiguities).
Robbins sendiri membedakan sumber konflik yang berasal dari karakteristik perseorangan dalam organisasi dan konflik yang disebabkan oleh masalah struktural. Dari sini kemudian Robbins menarik kesimpulan bahwa ada orang yang mempunyai kesulitan untuk bekerja sama dengan orang lain dan kesulitan tersebut tidak ada kaitannya dengan kemampuan kerja atau interaksinya yang formal. Konflik perseorangan ini disebut Robbins dengan konflik psikologis.
Untuk itulah Robbins kemudian memusatkan perhatian pada sumber konflik organisasi yang bersifat struktural. Sumber-sumber konflik yang dimaksudkan Robbins, yaitu :
a. Saling ketergantungan pekerjaan
b. Ketergantungan pekerjaan satu arah
c. Diferensiasi horizontal yang tinggi
d. Formalisasi yang rendah
e. Ketergantungan pada sumber bersama yang langka
f. Perbedaan dalam kriteria evaluasi dan sistem imbalan
g. Pengambilan keputusan partisipatif
h. Keanekaragaman anggota
i. Ketidaksesuaian status
j. Ketidakpuasan peran
k. Distorsi komunikasi
2.6 Macam-macam Konflik
Konflik yang terjadi dalam suatu organisasi dapat dibedakan menjadi beberapa macam, salah satunya dari segi pihak yang terlibat dalam konflik. Dari segi ini konflik dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
1. Konflik individu dengan individu
Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan individu pimpinan dari berbagai tingkatan. Individu pimpinan dengan individu karyawan maupun antara individu karyawan dengan individu karyawan lainnya.
2. Konflik individu dengan kelompok
Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan kelompok ataupun antara individu karyawan dengan kelompok pimpinan.
3. Konflik kelompok dengan kelompok
Ini bisa terjadi antara kelompok pimpinan dengan kelompok karyawan, kelompok pimpinan dengan kelompok pimpinan yang lain dalam berbagai tingkatan maupun antara kelompok karyawan dengan kelompok karyawan yang lain.
2.4 Pandangan Mengenai Konflik
Terdapat tiga pandangan mengenai konflik. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan yang berbeda mengenai apakah konflik merugikan, hal yang wajar atau justru harus diciptakan untuk memberikan stimulus bagi pihak-pihak yang terlibat untuk saling berkompetisi dan menemukan solusi yang terbaik. Pandangan itu adalah sebagai berikut :
a. Pandangan Tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality.
b. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View). Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.
c. Pandangan Interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif.
2.5 Penyebab Konflik
Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Agus M. Hardjana mengemukakan sepuluh penyebab munculnya konflik, yaitu :
a. Salah pengertian atau salah paham karena kegagalan komunikas
b. Perbedaan tujuan kerja karena perbedaan nilai hidup yang dipegang
c. Rebutan dan persaingan dalam hal yang terbatas seperti fasilitas kerja dan jabatan
d. Masalah wewenang dan tanggung jawab
e. Penafsiran yang berbeda atas satu hal, perkara dan peristiwa yang sama
f. Kurangnya kerja sama
g. Tidak mentaati tata tertib dan peraturan kerja yang ada
h. Ada usaha untuk menguasai dan merugikan
i. Pelecehan pribadi dan kedudukan
j. Perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja sehingga orang menjadi merasa tidak jelas tentang apa yang diharapkan darinya.
Stoner sendiri menyatakan bahwa penyebab yang menimbulkan terjadinya konflik adalah :
a. Pembagian sumber daya (shared resources)
b. Perbedaan dalam tujuan (differences in goals)
c. Ketergantungan aktivitas kerja (interdependence of work activities)
d. Perbedaan dalam pandangan (differences in values or perceptions)
e. Gaya individu dan ambiguitas organisasi (individual style and organizational ambiguities).
Robbins sendiri membedakan sumber konflik yang berasal dari karakteristik perseorangan dalam organisasi dan konflik yang disebabkan oleh masalah struktural. Dari sini kemudian Robbins menarik kesimpulan bahwa ada orang yang mempunyai kesulitan untuk bekerja sama dengan orang lain dan kesulitan tersebut tidak ada kaitannya dengan kemampuan kerja atau interaksinya yang formal. Konflik perseorangan ini disebut Robbins dengan konflik psikologis.
Untuk itulah Robbins kemudian memusatkan perhatian pada sumber konflik organisasi yang bersifat struktural. Sumber-sumber konflik yang dimaksudkan Robbins, yaitu :
a. Saling ketergantungan pekerjaan
b. Ketergantungan pekerjaan satu arah
c. Diferensiasi horizontal yang tinggi
d. Formalisasi yang rendah
e. Ketergantungan pada sumber bersama yang langka
f. Perbedaan dalam kriteria evaluasi dan sistem imbalan
g. Pengambilan keputusan partisipatif
h. Keanekaragaman anggota
i. Ketidaksesuaian status
j. Ketidakpuasan peran
k. Distorsi komunikasi
2.6 Macam-macam Konflik
Konflik yang terjadi dalam suatu organisasi dapat dibedakan menjadi beberapa macam, salah satunya dari segi pihak yang terlibat dalam konflik. Dari segi ini konflik dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
1. Konflik individu dengan individu
Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan individu pimpinan dari berbagai tingkatan. Individu pimpinan dengan individu karyawan maupun antara individu karyawan dengan individu karyawan lainnya.
2. Konflik individu dengan kelompok
Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan kelompok ataupun antara individu karyawan dengan kelompok pimpinan.
3. Konflik kelompok dengan kelompok
Ini bisa terjadi antara kelompok pimpinan dengan kelompok karyawan, kelompok pimpinan dengan kelompok pimpinan yang lain dalam berbagai tingkatan maupun antara kelompok karyawan dengan kelompok karyawan yang lain.
2.7 Peranan Konflik Dalam Organisasi
Secara tradisional, pendekatan terhadap konflik organisasional adalah
sangat sederhana dan optimistik. Pendekatan tersebut didasarkan atas tiga
anggapan sebagai berikut :
2.8 Penerapan Manajemen Konflik Dalam Organisasi
Untuk itulah diperlukan upaya untuk mengelola konflik secara serius agar keberlangsungan suatu organisasi tidak terganggu. Stoner mengemukakan tiga cara dalam pengelolaan konflik, yaitu :
a. Merangsang konflik di dalam unit atau organisasi yang prestasi kerjanya rendah karena tingkat konflik yang terlalu kecil. Termasuk dalam cara ini adalah :
• minta bantuan orang luar
• menyimpang dari peraturan (going against the book)
• menata kembali struktur organisasi
• menggalakkan kompetisi
• memilih manajer yang cocok
b. Meredakan atau menumpas konflik jika tingkatnya terlalu tinggi atau kontra-produktif
c. Menyelesaikan konflik. metode penyelesaian konflik yang disampaikan Stoner adalah :
• dominasi dan penguasaan, hal ini dilakukan dengan cara paksaan, perlunakan, penghindaran, dan penentuan melalui suara terbanyak.
• Kompromi
• pemecahan masalah secara menyeluruh.
Konflik yang sudah terjadi juga bisa diselesaikan lewat perundingan. Cara ini dilakukan dengan melakukan dialog terus menerus antar kelompok untuk menemukan suatu penyelesaian maksimum yang menguntungkan kedua belah pihak. Melalui perundingan, kepentingan bersama dipenuhi dan ditentukan penyelesaian yang paling memuaskan. Gaya perundingan untuk mengelola konflik dapat dilakukan dengan cara :
Model penanganan konflik yang lain juga disampaikan oleh Sondang, yaitu dengan cara tidak menghilangkan konflik, namun dikelola dengan cara :
Cara lain juga dikemukakan Theo Riyanto, yaitu dengan secara dini melakukan tindakan yang sifatnya preventif, yaitu dengan cara :
2.9 Aspek Positif Terhadap Konflik
 
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1.  Konflik menurut definisinya dapat dihindarkan
2.  Konflik diakibatkan oleh para pembuat masalah, pengacau, dan
primadona.
3. Bentuk-bentuk wewenang legalistic seperti ‘berjalan melalui
saluran-saluran‘ atau ‘berpegang pada aturan‘.
Dan hasilnya berupa serangkaian anggapan baru tentang konflik yang
hampir persis berlawanan dengan anggapan-anggapan tradisional :
1. konflik tidak dapat dihindarkan 
2. konflik ditentukan oleh factor-faktor struktural seperti bentuk fisik
suatu bangunan, desain struktur karier, atau sifat sistem kelas.
3. Konflik adalah bagian integral sifat perubahan.
4. Konflik dapat membantu atau menghambat pelaksanaan kegiatan
organisasi dalam berbagai derajat.
5. Tingkat konflik minimal adalah optimis.
Atas dasar anggapan-anggapan diatas, manajemen konflik organisasional
telah menggunakan suatu pendekatan baru.pendekatan yang cukup representative
adalah tiga strategi dasar untuk mengurangi konflik organisasional yang
dikemukan literer yaitu :
1. Penyangga atau penengah dapat diletakkan diantara pihak-pihak yang
sedang berkonflik.
2. Membantu pihak-pihak yang sedang konflik untuk menggembangan
pandangan yang lebih baik tentang diri mereka dan cara mereka yang saling
mempengaruhi. 
3. Merancang kembali struktur organisasi agar konflik berkurang.
2.8 Penerapan Manajemen Konflik Dalam Organisasi
Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, hal ini disebabkan 
karena setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung 
mendatangkan konflik. Perubahan institusional yang terjadi, baik 
direncanakan atau tidak, tidak hanya berdampak pada perubahan struktur 
dan personalia, tetapi juga berdampak pada terciptanya hubungan pribadi 
dan organisasional yang berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu, 
jika konflik tidak ditangani secara baik dan tuntas, maka akan 
mengganggu keseimbangan sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara 
orang-orang yang terlibat.
Untuk itulah diperlukan upaya untuk mengelola konflik secara serius agar keberlangsungan suatu organisasi tidak terganggu. Stoner mengemukakan tiga cara dalam pengelolaan konflik, yaitu :
a. Merangsang konflik di dalam unit atau organisasi yang prestasi kerjanya rendah karena tingkat konflik yang terlalu kecil. Termasuk dalam cara ini adalah :
• minta bantuan orang luar
• menyimpang dari peraturan (going against the book)
• menata kembali struktur organisasi
• menggalakkan kompetisi
• memilih manajer yang cocok
b. Meredakan atau menumpas konflik jika tingkatnya terlalu tinggi atau kontra-produktif
c. Menyelesaikan konflik. metode penyelesaian konflik yang disampaikan Stoner adalah :
• dominasi dan penguasaan, hal ini dilakukan dengan cara paksaan, perlunakan, penghindaran, dan penentuan melalui suara terbanyak.
• Kompromi
• pemecahan masalah secara menyeluruh.
Konflik yang sudah terjadi juga bisa diselesaikan lewat perundingan. Cara ini dilakukan dengan melakukan dialog terus menerus antar kelompok untuk menemukan suatu penyelesaian maksimum yang menguntungkan kedua belah pihak. Melalui perundingan, kepentingan bersama dipenuhi dan ditentukan penyelesaian yang paling memuaskan. Gaya perundingan untuk mengelola konflik dapat dilakukan dengan cara :
a. Pencairan, yaitu dengan melakukan dialog untuk mendapat suatu pengertian
b. Keterbukaan, pihak-pihak yang terlibat bisa jadi tidak terbuka apalagi 
jika konflik terjadi dalam hal-hal sensitif dan dalam suasana yang 
emosional
c. Belajar empati, yaitu dengan melihat kondisi dan kecemasan orang lain sehingga didapatkan pengertian baru mengenai orang lain
d. Mencari tema bersama, pihak-pihak yang terlibat dapat dibantu dengan cara mencari tujuan-tujuan bersama
e. Menghasilkan alternatif, hal ini dilakukan dengan jalan mencari alternatif untuk menyelesaikan persoalan yang diperselisihkan.
f. Menanggapi berbagai alternatif, setelah ditemukan alternatif-alternatif
 penyelesaian hendaknya pihak-pihak yang terlibat dalam konflik 
mempelajari dan memberikan tanggapan
g. Mencari penyelesaian, sejumlah
 alternatif yang sudah dipelajari secara mendalam dapat diperoleh suatu 
konsensus untuk menetapkan suatu penyelesaian
h. Membuka jalan buntu, 
kadangkala ditemukan jalan buntu sehingga pihak ketiga yang obyektif dan
 berpengalaman dapat diikutsertakan untuk menyelesaikan masalah
i. Mengikat diri kepada penyelesaian di dalam kelompok, setelah dihasilkan 
penyelesaian yang disepakati, pihak-pihak yang terlibat dapat 
memperdebatkan dan mempertimbangkan penyelesaian dan mengikatkan diri 
pada penyelesaian itu
j. Mengikat seluruh kelompok, tahap terakhir 
dari langkah penyelesaian konflik adalah dengan penerimaan atas suatu 
penyelesaian dari pihak-pihak yang terlibat konflik.
Model penanganan konflik yang lain juga disampaikan oleh Sondang, yaitu dengan cara tidak menghilangkan konflik, namun dikelola dengan cara :
a. bersaing
b. kolaborasi
c. mengelak
d. akomodatif
e. kompromi
Cara lain juga dikemukakan Theo Riyanto, yaitu dengan secara dini melakukan tindakan yang sifatnya preventif, yaitu dengan cara :
a. menghindari konflik
b. mengaburkan konflik
c. mengatasi konflik dengan cara :
1. dengan kekuatan (win lose solution)
2. dengan perundingan.
1. dengan kekuatan (win lose solution)
2. dengan perundingan.
2.9 Aspek Positif Terhadap Konflik
Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang 
positif apabila dikelola dengan baik. Misalnya, konflik dapat 
mengerakkan suatu perubahan :
a. Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan tanggungjawab mereka
b. Memberikan saluran baru untuk komunikasi
c. Menumbuhkan semangat baru pada staf
d. Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi
e. Menghasikan distribusi sumber tenaga kerja yang lebih merata dalam organisassi Apabila konflik mengarah pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat berdampak pada peenurunan efektivitas kerja dalam organissasi baik secara perorangan maupun kelompok, berupa penolakan, resistensi terhadap perubahan, apatis, acuh tak acuh, bahkan mungkin muncul luapan emosi destruktif, berupa demonstrasi.
a. Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan tanggungjawab mereka
b. Memberikan saluran baru untuk komunikasi
c. Menumbuhkan semangat baru pada staf
d. Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi
e. Menghasikan distribusi sumber tenaga kerja yang lebih merata dalam organisassi Apabila konflik mengarah pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat berdampak pada peenurunan efektivitas kerja dalam organissasi baik secara perorangan maupun kelompok, berupa penolakan, resistensi terhadap perubahan, apatis, acuh tak acuh, bahkan mungkin muncul luapan emosi destruktif, berupa demonstrasi.
1. Konflik dalam :
• Perggantian pimpinan yang lebih berwibawa,penuh ide baru dan
semangat baru.
• Perubahan tujuan organisasi yang lebih mencerminkan nilai-nilai yang
disesuaikan dengan perubahan situasi dan kondisi.
• Pelembagaan konflik itu sendiri artinya konflik disalurkan tidak
merusak susunan atau struktur organisasi.
2. Konflik dengan organisasi lain mungkin dapat :
• Lebih mempersatukan para anggota organisasi.
• Mendatangkan kehidupan baru di dalam hal tujuan serta nilai
organisasi
• Lebih menyadarkan para anggota terhadap strategi serta taktik lawan.
• Sebagai suatu lembaga pengawasan masyarakat.
Bagaimanapun juga, konflik merupakan suatu hal yang memakan
pikiran,waktu,tenaga,dan lain-lain untuk menyelesaikannya. Tetapi bila dilihat
sekilas sepertinya konflik itu sangat sulit untuk dihindari dan diselesaikan,
tetapi dalam hal ini jangan beranggapan bahwa dengan adanya konflik berarti
organisasi tersebut telah gagal. Karena betapapun sulitnya suatu konflik pasti
dapat diselesaikan oleh para anggota dengan melihat persoalan serta
mendudukannya pada proporsi yang wajar.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB III
PENUTUP
Konflik dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah manajer atau
 pimpinan dalam organisasi harus mampu mengelola konflik yang terdapat 
dalam organisasi secara baik agar tujuan organisasi dapat tercapai tanpa
 hambatan-hambatan yang menciptakan terjadinya konflik. Terdapat 
banyak cara dalam penanganan suatu konflik. Manajer atau pimpinan harus 
mampu mendiagnosis sumber konflik serta memilih strategi pengelolaan 
konflik yang sesuai sehingga diperoleh solusi tepat atas konflik 
tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang baik maka akn diperoleh 
pengalaman dalam menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus
 terjadi dalam organisasi. 
kehadiran konflik dalam suatu organisasi tidak dapat 
dihindarkan tetapi hanya dapat dieliminir. Konflik dalam organisasi 
dapat terjadi antara individu dengan individu, baik individu pimpinan 
maupun individu karyawan, konflik individu dengan kelompok maupun 
konflik antara kelompok tertentu dengan kelompok yang lain. Tidak semua 
konflik merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan dikendalikan 
dengan baik dapat berujung pada keuntungan organisasi sebagai suatu 
kesatuan, sebaliknya apabila konflik tidak ditangani dengan baik serta 
mengalami eskalasi secara terbuka dapat merugikan kepentingan 
organisasi.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Pengertian Manajemen Konflik
Manajemen Konflik
Macam-macam Konflik
Penerapan Manajemen Konflik Dalam Organisasi
Aspek Positif Konflik
Segi Positif Dari Konflik
Bagus ni artikelnya tentang konflik manajemen |
BalasHapusTerimakasih sudah berbagi ilmu yang berkaitan dengan konflik manajemen | salam kenal dan sukses selalu