BAB I
PENDAHULUAN
Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen
(subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung (inter
dependence) satu sama lain dan dalam proses kerja sama untuk mencapai
tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem yang saling
tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values
subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial
(managerialsubsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan
subsistem struktur (structural subsystem). Dalam proses interaksi antara
suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu
terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap
saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar
kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar belakangi
munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain sifat-sifat
pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”,
perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang
akhirnya membawa organisasi kedalam suasana konflik.
Agar
organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling
tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung
satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi. Namun, sabagaimana
dikatakan oleh Gibson, et al. (1997:437), selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal
ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan
atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama
lain.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Manajemen Konflik
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara
pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik
termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang
mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku
maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests)
dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai
pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang
situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku
dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan
langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka
mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau
tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan
mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif,
kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan
bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau
tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak
ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen
konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku
dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap
konflik.
Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan.
- Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.
- Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.
- Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
- Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan
berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara
kelompok-kelompok yang bermusuhan.
- Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik
sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan
negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang
positif.
Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan
dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan
tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan
dan penyelesaian konflik.
Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik
merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses.
Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik
perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif,
artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota
secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang
representatif dan ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik
yang telah dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota
meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik
(dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan
struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan
dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk
mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan
atau pihak ketiga dalam mengelola konflik. Keseluruhan proses tersebut
berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan melibatkan perencana
sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak
ketiga.
2.2 Teori-teori Konflik
Teori-teori utama mengenai sebab-sebab konflik adalah :
a. Teori hubungan masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus
terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang
berbeda dalam suatu masyarakat.
Sasaran : meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara
kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar
masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
b. Teori kebutuhan manusia
Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan
dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau
dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan,
identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi.
Sasaran : mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka
yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi
kebutuhan itu.
c. Teori negosiasi prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak
selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang
mengalami konflik.
Sasaran : membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan
pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk
melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi
tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang
menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
d. Teori identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam,
yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa
lalu yang tidak diselesaikan.
Sasaran : melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak
yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan
ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan
rekonsiliasi di antara mereka.
e. Teori kesalahpahaman antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
Sasaran : menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai
budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka miliki
tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
f. Teori transformasi konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah
ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial,
budaya dan ekonomi.
Sasaran : mengubah struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi,
meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antar pihak
yang berkonflik, mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan
pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi,
pengakuan.
2.3 Pengertian Konflik
Robbins (1996) dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa
konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya
ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh
atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh
negative. Tentu saja ada konflik yang hanya dibayangkan ada sebagai sebuah
persepsi ternyata tidak riil. Sebaliknya dapat terjadi bahwa ada
situasi-situasi yang sebenarnya dapat dianggap sebagai “bernuansa
konflik” ternyata tidak dianggap sebagai konflik karena nggota-anggota
kelompok tidak menganggapnya sebagai konflik. Selanjutnya, setiap kita
membahas konflik dalam organisasi kita, konflik selalu diasosiasikan
dengan antara lain, “oposisi” (lawan), “kelangkaan”, dan “blokade”.
Di asumsikan pula bahwa ada dua fihak atau lebih yang tujuan atau
kepentingannya tidak saling menunjang. Kita semua mengetahui pula bahwa
sumberdaya dana, daya reputasi, kekuasaan, dan lain-lain, dalam
kehidupan dan dalam organisasi tersedianya terbatas. Setiap orang,
setiap kelompok atau setiap unit dalam organisasi akan berusaha
memperoleh semberdaya tersebut secukupnya dan kelangkaan tersebut akan mendorong perilaku yang bersifat menghalangi
oleh setiap pihak yang punya kepentingan yang sama. Pihak-pihak tersebut
kemudian bertindak sebagai oposisi terhadap satu sama lain. Bila ini
terjadi, maka status dari situasi dapat disebut berada dalam kondisi
“konflik”. Bila kita mempersempit lingkungan organisasi maka dua orang pakar
penulis dari Amerika Serikat yaitu, Cathy A Constantino, dan Chistina
Sickles Merchant mengatakan dengan kata-kata yang lebih sederhana, bahwa
konflik pada dasarnya adalah: “sebuah proses mengekspresikan ketidak
puasan, ketidak setujuan, atau harapan-harapan yang tidak terealisasi”.
Kedua penulis tersebut sepakat dengan Robbins bahwa konflik pada
dasarnya adalah sebuah proses.
Bentuk Manifestasi Konflik
Konflik yang terjadi dalam masyarakat ata dalam sebuah organisasi dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk atau cara :
a. Perselisihan (Dispute) : bagi kebanyakan orang awam, kata konflik
biasanya diasosiasikan dengan “dispute” yaitu “perselisihan” tetapi,
dalam konteks ilmu perilaku organisasi, “perselisihan” sebenarnya sudah
merupakan salah satu dari banyak bentuk produk dari konflik.Dispute atau
perselisihan adalah salah satu produk konflik yang paling mudah
terlihat dan dapat berbentuk protes (grievances), tindakan indispliner,
keluhan (complaints), unjuk rasa ramai-ramai , tindakan pemaksaan
(pemblokiran, penyanderaan, dsb.), tuntutan ataupun masih bersifat
ancaman atau pemogokan baik antara fihak internal organisasi ataupun
dengan fihak luar adalah tanda-tanda konflik yang tidak terselesaikan.
b. Kompetisi (persaingan) yang tidak sehat. Persaingan sebenarnya
tidak sama dengan konflik. Persaingan seperti misalnya dalam
pertandingan atletik mengikuti aturan main yang jelas dan ketat. Semua
pihak yang bersaing berusaha memperoleh apa yang diinginkan tanpa di
jegal oleh pihak lain. Adanya persaingan yang sangat keras dengan wasit
yang tegas dan adil, yang dapat menjurus kepada perilaku dan tindakan
yang bersifat menjegal yang lain.
c. Sabotase adalah salah satu bentuk produk konflik yang tidak dapat
diduga sebelumnya. Sabotase seringkali digunakan dalam permainan politik
dalam internal organisasi atau dengan pihak eksternal yang dapat
menjebak pihak lain. Misalnya saja satu pihak mengatakan tidak apa-ap,
tidak mengeluh, tetapi tiba-tiba mengajukan tuntutan ganti rugi miliaran
rupiah melalui pengadilan.
d. Insfisiensi/Produktivitas Yang Rendah. Apa yang terjadi adalah
salah satu fihak (biasanya fihak pekerja) dengan sengaja melakukan
tindakan-tindakan yang berakibat menurunkan produktivitas dengan cara
memperlambat kerja (slow-down), mengurangi output, melambatkan
pengiriman, dll. Ini adalah salah satu dari bentuk konflik yang
tersembunyi (hidden conflic) dimana salah satu fihak menunjukan sikapnya
secara tidak terbuka.
e. Penurunan Moril (Low Morale). Penurunan moril dicerminkan dalam
menurunnya gairah kerja, meningkatnya tingkat kemangkiran, sakit,
penurunan moril adalah juga merupakan salah satu dari produk konflik
tersembunyi dalam situasi ini salah satu fihak, biasanya pekerja, merasa
takut untuk secara terang-terangan untuk memprotes fihak lain sehingga
elakukan tindakan-tindakan tersembunyi pula.
f. Menahan/Menyembunyikan Informasi. Dalam banyak organisasi
informasi adalah salah satu sumberdaya yang sangat penting dan identik
dengan kekuasaan (power). Dengan demikian maka penahanan/penyembunyian
informasi adalah identik dengan kemampuan mengendalikan kekuasaan
tersebut. tindakan-tindakan seperti ini menunjukkan adanya konflik
tersembunyi dan ketidak percayaan (distrust).
Manajemen Konflik Yang Efektif
Manajemen konflik dimaksudkan sebagai sebuah proses terpadu
(intergrated) menyeluruh untuk menetapkan tujuan organisasi dalam
penanganan konflik, menetapkan cara-cara mencegahnya program-program dan
tindakan sebagai tersebut maka dapat ditekankan empat hal :
a. Manajemen konflik sangat terkait dengan visi, strategi dan
sistem nilai/kultur organisasi manajemen konflik yang diterapkan akan
terkait erat dengan ketiga hal tersebut.
b. Manajemen konflik bersifat proaktif dan menekankan pada
usaha pencegahan. Bila fokus perhatian hanya ditujukan pada pencarian
solusi-solusi untuk setiap konflik yang muncul, maka usaha itu adalah
usaha penanganan konflik, bukan manajemen konflik.
c. Sistem manajemen konflik harus bersifat menyeluruh
(corporate wide) dan mengingat semua jajaran dalam organisasi. Adalah
sia-sia bila sistem manajemen konflik yang diterapkan hanya untuk bidang
Sumberdaya Manusia saja misalnya.
d. Semua rencana tindakan dan program-program dalam sistem
manajemen konflik juga akan bersifat pencegahan dan bila perlu
penanganan. Dengan demikian maka semua program akan mencakup edukasi,
pelatihan dan program sosialisasi lainnya.
2.4 Pandangan Mengenai Konflik
Terdapat tiga pandangan mengenai konflik. Hal ini disebabkan karena
adanya pandangan yang berbeda mengenai apakah konflik merugikan, hal
yang wajar atau justru harus diciptakan untuk memberikan stimulus bagi
pihak-pihak yang terlibat untuk saling berkompetisi dan menemukan solusi
yang terbaik. Pandangan itu adalah sebagai berikut :
a. Pandangan
Tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa semua
konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif,
merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini,
konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan
irrationality.
b. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations
View). Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang
wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus
diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi
peningkatan kinerja organisasi.
c. Pandangan Interaksionis (The
Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya
konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang,
damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif,
dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini,
konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan,
sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri
(self-critical), dan kreatif.
2.5 Penyebab Konflik
Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Agus M.
Hardjana mengemukakan sepuluh penyebab munculnya konflik, yaitu :
a. Salah pengertian atau salah paham karena kegagalan komunikas
b. Perbedaan tujuan kerja karena perbedaan nilai hidup yang dipegang
c. Rebutan dan persaingan dalam hal yang terbatas seperti fasilitas kerja dan jabatan
d. Masalah wewenang dan tanggung jawab
e. Penafsiran yang berbeda atas satu hal, perkara dan peristiwa yang sama
f. Kurangnya kerja sama
g. Tidak mentaati tata tertib dan peraturan kerja yang ada
h. Ada usaha untuk menguasai dan merugikan
i. Pelecehan pribadi dan kedudukan
j. Perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja sehingga orang menjadi merasa tidak jelas tentang apa yang diharapkan darinya.
Stoner sendiri menyatakan bahwa penyebab yang menimbulkan terjadinya konflik adalah :
a. Pembagian sumber daya (shared resources)
b. Perbedaan dalam tujuan (differences in goals)
c. Ketergantungan aktivitas kerja (interdependence of work activities)
d. Perbedaan dalam pandangan (differences in values or perceptions)
e. Gaya individu dan ambiguitas organisasi (individual style and organizational ambiguities).
Robbins sendiri membedakan sumber konflik yang berasal dari
karakteristik perseorangan dalam organisasi dan konflik yang disebabkan
oleh masalah struktural. Dari sini kemudian Robbins menarik kesimpulan
bahwa ada orang yang mempunyai kesulitan untuk bekerja sama dengan orang
lain dan kesulitan tersebut tidak ada kaitannya dengan kemampuan kerja
atau interaksinya yang formal. Konflik perseorangan ini disebut Robbins
dengan konflik psikologis.
Untuk itulah Robbins kemudian memusatkan
perhatian pada sumber konflik organisasi yang bersifat struktural.
Sumber-sumber konflik yang dimaksudkan Robbins, yaitu :
a. Saling ketergantungan pekerjaan
b. Ketergantungan pekerjaan satu arah
c. Diferensiasi horizontal yang tinggi
d. Formalisasi yang rendah
e. Ketergantungan pada sumber bersama yang langka
f. Perbedaan dalam kriteria evaluasi dan sistem imbalan
g. Pengambilan keputusan partisipatif
h. Keanekaragaman anggota
i. Ketidaksesuaian status
j. Ketidakpuasan peran
k. Distorsi komunikasi
2.6 Macam-macam Konflik
Konflik yang terjadi dalam suatu organisasi dapat dibedakan menjadi
beberapa macam, salah satunya dari segi pihak yang terlibat dalam
konflik. Dari segi ini konflik dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
:
1. Konflik individu dengan individu
Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan
individu pimpinan dari berbagai tingkatan. Individu pimpinan dengan
individu karyawan maupun antara individu karyawan dengan individu
karyawan lainnya.
2. Konflik individu dengan kelompok
Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan
kelompok ataupun antara individu karyawan dengan kelompok pimpinan.
3. Konflik kelompok dengan kelompok
Ini bisa terjadi antara kelompok pimpinan dengan kelompok karyawan,
kelompok pimpinan dengan kelompok pimpinan yang lain dalam berbagai
tingkatan maupun antara kelompok karyawan dengan kelompok karyawan yang
lain.
2.7 Peranan Konflik Dalam Organisasi
Secara tradisional, pendekatan terhadap konflik organisasional adalah
sangat sederhana dan optimistik. Pendekatan tersebut didasarkan atas tiga
anggapan sebagai berikut :
1. Konflik menurut definisinya dapat dihindarkan
2. Konflik diakibatkan oleh para pembuat masalah, pengacau, dan
primadona.
3. Bentuk-bentuk wewenang legalistic seperti ‘berjalan melalui
saluran-saluran‘ atau ‘berpegang pada aturan‘.
Dan hasilnya berupa serangkaian anggapan baru tentang konflik yang
hampir persis berlawanan dengan anggapan-anggapan tradisional :
1. konflik tidak dapat dihindarkan
2. konflik ditentukan oleh factor-faktor struktural seperti bentuk fisik
suatu bangunan, desain struktur karier, atau sifat sistem kelas.
3. Konflik adalah bagian integral sifat perubahan.
4. Konflik dapat membantu atau menghambat pelaksanaan kegiatan
organisasi dalam berbagai derajat.
5. Tingkat konflik minimal adalah optimis.
Atas dasar anggapan-anggapan diatas, manajemen konflik organisasional
telah menggunakan suatu pendekatan baru.pendekatan yang cukup representative
adalah tiga strategi dasar untuk mengurangi konflik organisasional yang
dikemukan literer yaitu :
1. Penyangga atau penengah dapat diletakkan diantara pihak-pihak yang
sedang berkonflik.
2. Membantu pihak-pihak yang sedang konflik untuk menggembangan
pandangan yang lebih baik tentang diri mereka dan cara mereka yang saling
mempengaruhi.
3. Merancang kembali struktur organisasi agar konflik berkurang.
2.8 Penerapan Manajemen Konflik Dalam Organisasi
Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, hal ini disebabkan
karena setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung
mendatangkan konflik. Perubahan institusional yang terjadi, baik
direncanakan atau tidak, tidak hanya berdampak pada perubahan struktur
dan personalia, tetapi juga berdampak pada terciptanya hubungan pribadi
dan organisasional yang berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu,
jika konflik tidak ditangani secara baik dan tuntas, maka akan
mengganggu keseimbangan sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara
orang-orang yang terlibat.
Untuk itulah diperlukan upaya untuk
mengelola konflik secara serius agar keberlangsungan suatu organisasi
tidak terganggu. Stoner mengemukakan tiga cara dalam pengelolaan
konflik, yaitu :
a. Merangsang konflik di dalam unit atau organisasi
yang prestasi kerjanya rendah karena tingkat konflik yang terlalu kecil.
Termasuk dalam cara ini adalah :
• minta bantuan orang luar
• menyimpang dari peraturan (going against the book)
• menata kembali struktur organisasi
• menggalakkan kompetisi
• memilih manajer yang cocok
b. Meredakan atau menumpas konflik jika tingkatnya terlalu tinggi atau kontra-produktif
c. Menyelesaikan konflik. metode penyelesaian konflik yang disampaikan Stoner adalah :
•
dominasi dan penguasaan, hal ini dilakukan dengan cara paksaan,
perlunakan, penghindaran, dan penentuan melalui suara terbanyak.
• Kompromi
• pemecahan masalah secara menyeluruh.
Konflik yang sudah terjadi juga bisa diselesaikan lewat perundingan.
Cara ini dilakukan dengan melakukan dialog terus menerus antar kelompok
untuk menemukan suatu penyelesaian maksimum yang menguntungkan kedua
belah pihak. Melalui perundingan, kepentingan bersama dipenuhi dan
ditentukan penyelesaian yang paling memuaskan. Gaya perundingan untuk
mengelola konflik dapat dilakukan dengan cara :
a. Pencairan, yaitu dengan melakukan dialog untuk mendapat suatu pengertian
b. Keterbukaan, pihak-pihak yang terlibat bisa jadi tidak terbuka apalagi
jika konflik terjadi dalam hal-hal sensitif dan dalam suasana yang
emosional
c. Belajar empati, yaitu dengan melihat kondisi dan kecemasan orang lain sehingga didapatkan pengertian baru mengenai orang lain
d. Mencari tema bersama, pihak-pihak yang terlibat dapat dibantu dengan cara mencari tujuan-tujuan bersama
e. Menghasilkan alternatif, hal ini dilakukan dengan jalan mencari alternatif untuk menyelesaikan persoalan yang diperselisihkan.
f. Menanggapi berbagai alternatif, setelah ditemukan alternatif-alternatif
penyelesaian hendaknya pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
mempelajari dan memberikan tanggapan
g. Mencari penyelesaian, sejumlah
alternatif yang sudah dipelajari secara mendalam dapat diperoleh suatu
konsensus untuk menetapkan suatu penyelesaian
h. Membuka jalan buntu,
kadangkala ditemukan jalan buntu sehingga pihak ketiga yang obyektif dan
berpengalaman dapat diikutsertakan untuk menyelesaikan masalah
i. Mengikat diri kepada penyelesaian di dalam kelompok, setelah dihasilkan
penyelesaian yang disepakati, pihak-pihak yang terlibat dapat
memperdebatkan dan mempertimbangkan penyelesaian dan mengikatkan diri
pada penyelesaian itu
j. Mengikat seluruh kelompok, tahap terakhir
dari langkah penyelesaian konflik adalah dengan penerimaan atas suatu
penyelesaian dari pihak-pihak yang terlibat konflik.
Model
penanganan konflik yang lain juga disampaikan oleh Sondang, yaitu dengan
cara tidak menghilangkan konflik, namun dikelola dengan cara :
a. bersaing
b. kolaborasi
c. mengelak
d. akomodatif
e. kompromi
Cara lain juga dikemukakan Theo Riyanto, yaitu dengan secara dini
melakukan tindakan yang sifatnya preventif, yaitu dengan cara :
a. menghindari konflik
b. mengaburkan konflik
c. mengatasi konflik dengan cara :
1. dengan kekuatan (win lose solution)
2. dengan perundingan.
2.9 Aspek Positif Terhadap Konflik
Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang
positif apabila dikelola dengan baik. Misalnya, konflik dapat
mengerakkan suatu perubahan :
a. Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan tanggungjawab mereka
b. Memberikan saluran baru untuk komunikasi
c. Menumbuhkan semangat baru pada staf
d. Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi
e. Menghasikan distribusi sumber tenaga kerja yang lebih merata dalam organisassi
Apabila konflik mengarah pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat
berdampak pada peenurunan efektivitas kerja dalam organissasi baik
secara perorangan maupun kelompok, berupa penolakan, resistensi terhadap
perubahan, apatis, acuh tak acuh, bahkan mungkin muncul luapan emosi
destruktif, berupa demonstrasi.
1. Konflik dalam :
• Perggantian pimpinan yang lebih berwibawa,penuh ide baru dan
semangat baru.
• Perubahan tujuan organisasi yang lebih mencerminkan nilai-nilai yang
disesuaikan dengan perubahan situasi dan kondisi.
• Pelembagaan konflik itu sendiri artinya konflik disalurkan tidak
merusak susunan atau struktur organisasi.
2. Konflik dengan organisasi lain mungkin dapat :
• Lebih mempersatukan para anggota organisasi.
• Mendatangkan kehidupan baru di dalam hal tujuan serta nilai
organisasi
• Lebih menyadarkan para anggota terhadap strategi serta taktik lawan.
• Sebagai suatu lembaga pengawasan masyarakat.
Bagaimanapun juga, konflik merupakan suatu hal yang memakan
pikiran,waktu,tenaga,dan lain-lain untuk menyelesaikannya. Tetapi bila dilihat
sekilas sepertinya konflik itu sangat sulit untuk dihindari dan diselesaikan,
tetapi dalam hal ini jangan beranggapan bahwa dengan adanya konflik berarti
organisasi tersebut telah gagal. Karena betapapun sulitnya suatu konflik pasti
dapat diselesaikan oleh para anggota dengan melihat persoalan serta
mendudukannya pada proporsi yang wajar.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB III
PENUTUP
Konflik dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah manajer atau
pimpinan dalam organisasi harus mampu mengelola konflik yang terdapat
dalam organisasi secara baik agar tujuan organisasi dapat tercapai tanpa
hambatan-hambatan yang menciptakan terjadinya konflik. Terdapat
banyak cara dalam penanganan suatu konflik. Manajer atau pimpinan harus
mampu mendiagnosis sumber konflik serta memilih strategi pengelolaan
konflik yang sesuai sehingga diperoleh solusi tepat atas konflik
tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang baik maka akn diperoleh
pengalaman dalam menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus
terjadi dalam organisasi.
kehadiran konflik dalam suatu organisasi tidak dapat
dihindarkan tetapi hanya dapat dieliminir. Konflik dalam organisasi
dapat terjadi antara individu dengan individu, baik individu pimpinan
maupun individu karyawan, konflik individu dengan kelompok maupun
konflik antara kelompok tertentu dengan kelompok yang lain. Tidak semua
konflik merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan dikendalikan
dengan baik dapat berujung pada keuntungan organisasi sebagai suatu
kesatuan, sebaliknya apabila konflik tidak ditangani dengan baik serta
mengalami eskalasi secara terbuka dapat merugikan kepentingan
organisasi.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Pengertian Manajemen Konflik
Manajemen Konflik
Macam-macam Konflik
Penerapan Manajemen Konflik Dalam Organisasi
Aspek Positif Konflik
Segi Positif Dari Konflik